Jumat, 20 Juni 2014

Jadi, untuk apa?

“Untuk apa pacaran? Demi apa pacaran?
Mengapa kamu pacaran? Manfaat apa yang
kamu peroleh dari pacaran? Sama sekali nggak
ada!”
Aku diam. Duduk tegak layaknya garuda wisnu
kencana yang menumbukkan mata pada
perempuan berhijab di depan kelas. Mendengar
deru pacu kata demi kata perempuan religius
yang kini tengah berdiri di depan kelas. Berkoar
membuka acara islami sederhana untuk
mengisi kekosongan menit-menit tatkala para
adam sujud berjamaah di Jumat tanpa syahwat.
“Kita cewek, perempuan. Sekarang aku tanya..
Siapa sih yang paling dirugikan ketika kita
berpacaran?” ujar seniorku lantang saat
memresentasikan projeknya dalam proyeksi
layar putih lebar yang terbentangkan di dinding
depan.
“Kita!” Sahut kami serempak.
Perempuan kuning langsat itu tersenyum
samar. Kalakian bertanya pelan, “Lalu, kenapa
kamu masih mau pacaran?”
Untuk beberapa detik, hanya terdengar jawaban
yang bertalun dalam ganglia. Hingga seorang
yang duduk paling depan menjawab, “Karena
pacaran itu nggak pernah tersebutkan dalam
firman, sabda atau riwayat apapun dalam
Islam, kak!”
Sudut-sudut bibir perempuan itu tertarik lagi.
Dengan sesirat geli yang terselip dalam gurat
lipatan dahinya. “Tidakkah kamu berfikir, wahai
akhwat? Adam yang mengejar kita hanyalah
menuntut birahi semata. Mereka terbutakan
oleh nafsu. Bahkan tak jarang mereka
mengedokkan ‘taubat’ dalam aksinya. Coba
lihat! Selama ini, bukankah kita selalu menjadi
pihak yang selalu mendapat imbas buruknya?”
Sunyi sekejap menghampiri–lagi. Aku dan
barisan kawan kelas ini termangu dalam
jabaran cuap demi cuapnya.
Kemudian ia berucap, “Kita berharga. Wanita
ialah pengrupa perhiasan. Allah telah memberi
wadah spesial bagi wanita hingga kita harus
benar-benar menjaganya hingga waktu yang
tepat tiba.”
Sekali lagi, aku bergidik. Meski aku belum
pernah merasa warna-warni berhubungan dekat
seperti itu, membayangkan hal-hal yang
tersuarakan oleh bibirnya jujur buatku
merenung. Benar, tak dapat disangkal sebelum
aku mengikuti kelas agama ini hati masih
merasa ingin dimiliki dan memiliki. Setidaknya
aku ingin menyesapi manisnya kata tersebut
dalam nyata yang tertangkap virtual oleh
kedua-belah pihak. Bukan sendiri yang jatuh
hati tanpa seorang pun yang siap merengkuh
diri.
Buru-buru perempuan penyadar batinku itu
menyambung, “Rasa itu pasti ada. Tapi
pacaran? Cuma nafsu yang mewakilkan kata
tersebut.” Rasa? Cinta? Hati? Lalu aku tak
sungguh-sungguh mendengarkannya lagi.
Neuronku mengimpuls sisa memori yang baru
saja menakhlikkan fragmen konversasi
beberapa jam yang lalu. Membumbung srebrum
dalam filosofi baru yang tak pernah kukira
sebelumnya.
***
“Jodoh, adalah saat kamu merupakan bagian
hidup dia dan dia merupakan bagian hidupmu.
Saling mengisi, melengkapi dan mengerti.”
Aku masih tak mengerti.
Duduk di kursi guru, menghadap pada seorang
wanita paruh baya kalem di sampingku, berada
dalam satu bimbingan.. Entahlah. Berbagi kisah
dengan seorang guru konseling di sekolah
adalah kali pertama bagiku. Ini aneh.
Sebelumnya setiap aku bercerita dengan kerabat
dekat yang timbul bukanlah kegamangan,
namun mengapa kali ini berbeda?
“Perasaan itu nggak tentu. Yang hari ini kamu
sayang banget, bisa aja besok malah berbalik
benci. Bukannya Tuhan memang memberikan
rasa pada kita dalam itu tiba-tiba?”
Sekonyong-konyong, kufilter rangkaian kalimat
yang baru saja tercetuskan oleh beliau. Bu
Ning, selaku mentor psikis sekolahku baru saja
memberikan hal asing dalam tangkupan
anteriorku. Ini salah. Bukan. Aku tak bisa
menerima prinsip ini.
Perasaanku berbeda. Aku tahu hal ini sejak
pertama kali menangkap getar abnormalnya.
Hatiku bukan tak menentu. Aku telah menetap.
Tersekap dalam sosok pujangga sebegitu
dalamnya hingga aku pun mendebat, ”Tapi
mengapa saya sering ngerasa ‘sakit’ ya, bu,
kalau ngerapalin nama dia dalam doa?”
Wanita berhijab itu mengulum senyum samar,
“Mengapa harus sakit? Suka itu nggak perlu
dipaksa. Hal wajar itu. Dari sana, rasa bisa
berubah menjadi cinta. Dan tahukah kamu
bagaimana seorang remaja yang memikirkan
cinta? Orientasi fikirannya akan terpusat pada
hal tersebut lalu ia pun mulai mengimajinasikan
hal-hal yang mungkin akan ia lakukan bersama
orang yang ia cintai. Sampai hasrat untuk
mendapatkan keinginan tersebut membuat kita
terdorong untuk memilikinya. Bukankah ironi
jika kita hanya mencintai lantaran untuk
merasakan hal-hal manis duniawi tersebut?”
Wanita itu menghela nafas sesaat, lalu
menggumam pelan, “Cinta itu haruslah ikhlas.
Tulus dari hati tanpa mengharap apapun dari
yang kita cintai.”
Aku terpaku. Tak dapat mengungkapkan
apapun. Teori ini buatku beku. Sepersekian
detik dendrit dan neuritku pun deras
mengimpuls hingga terkoneksi benar seluruh
informa. Beliau benar. Sangat benar.
“Sekarang pertanyaannya, memang seseorang
itu juga mau berhubungan dekat seperti itu
dengan kita? Kita nggak punya hak untuk
mendorong dia mau. Lagipula, apa kamu masih
beranggapan bahwa berpacaran akan membuat
kita termotivasi belajar? Tidak nak. Sangat
tidak berpengaruh. Sepanjang saya
membimbing siswa di sini, yang ada pacaran
hanya akan membuat kita tidak konsenterasi
terhadap pelajaran. Nilai kita merosot. Cita-cita
tak tercapai lalu hidup menjadi berantakan.
Naudzubillah.”
Lagi, aku termenung. Menelaah kata demi kata
penjabaran seorang wanita berpengalaman di
hadapanku dalam ketidaktahuan dengan kata-
kata O besar yang terucap. “Tapi, Bu, saya
sudah cinta. Kalau misalnya saya mau
menunjukkan rasa suka.. Harus bagaimana?”
Kembali, ia tersenyum. Hangat dari sebelumnya,
“Jadikan ia motivasi. Gali potensi diri. Urusan
hati sungguh dapat mendorong kita untuk
berbuat lebih. Tunjukkan pada ia bahwa kita
hebat.” Lalu akupun mengangguk mengerti dan
berniat untuk bertanya lagi.
Namun, sebelum sempat membuka katupan
bibir, buru-buru wanita dengan tahi lalat di
hidung itu menanggapi, ”Bentar, tadi kamu
bilang.. menunjukkan rasa suka?” Kemudian
aku mengisyaratkan ‘iya’ dan beliau pun
membenarkan posisi duduknya.
“Nak, kita orang timur. Perempuan pula.
Sungguh tak bernilai harganya apabila kita
menyatakan cinta pada seorang lelaki yang kita
sukai. Ingat, perasaan bisa berubah begitu saja.
Kamu masih duduk di bangku SMA.
Perjalananmu masih panjang. Akan ada banyak
orang yang akan kamu temui di luar sana.
Perasaanmu, pasti juga akan berubah, kan?
Jangan terlalu menggebu.” Ujarnya panjang
lebar.
“Jika cinta, jangan dikatakan. Cukup tunjukkan
melalui perbuatan bahwasanya kamu adalah
perempuan hebat yang pantas ia kejar sebagai
wanita layak pendamping hidupnya. Percayalah,
itu akan membuat hidupmu jauh, jauh, jauh
lebih indah.”
Kembali, aku mengangguk mantap. Beliau
menjawab seluruh tanya-tanya dalam batinku
selama ini. Tatapannya buatku sadar, kicauan
bijaknya buatku mengerti, bimbingan ini
sungguh meringankan hati. Sungguh, ini kali
pertama aku bisa tersenyum ringan. Seringan
benak yang melepas serangkaian tanya hati
pengakar kemunduran kapabilitas diri.
Aku sungguh bahagia hari ini.
***
“Tidak ada yang lebih indah dari mencintai-
Nya. Apapun yang kamu harapkan dari Tuhan
pasti akan terkabulkan dalam kurun waktu yang
hanya ia yang tahu. Tapi kalau mengharapkan
dari seseorang sesama manusia yang kita
cintai? Duh, cuma berbuah kecewa!” Ujar kakak
penyaji yang masih militan berdiri menutup
presentasi.
Bicara tentang hati dan perasaan, memang tak
ada habisnya. Memoar filosofi perasaan, hati
dan harga diri dari seorang ibu kedua di
sekolahku masih membekas tajam dalam
Anteriorku. Ditambah dengan cakapan demi
cakapan yang tersuara dari balik katup mungil
wajah kakak seniorku. Aneh memang, secuil
rasa hati dapat mengrupa sebuncah semangat
diri untuk lebih mengembangkan intensitas
kompetensi. Itukah yang disebut cinta sejati?
Enyahlah. Aku tak peduli lagi. Aku hanya ingin
menggapai mimipi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar